Senandung takbir, tahmid, dan tahlil telah berlalu. Babak baru dengan harapan baru bagi mereka yang melaksanakan perintah Allah Swt. Bulan suci tentunya telah dipergunakan sebaik-baiknya. Terlebih, kita (baca: Muslim) telah kembali ke fitrah dan semoga tetap fitrah, fitrah, dan fitrah selamanya. Namun bagi Masisir tidak sebatas itu saja, babak baru ini juga akan diwarnai dengan sosok pemimpin baru yaitu datangnya Dubes Indonesia baru, seorang Rois yang selama ini dinanti oleh Masisir dan tentunya harapan yang lebih untuk kesejahteraan Masisir dan seluruh WNI yang ada di negeri Kinanah ini mendatang.
Membincang tentang sosok yang dinantikan oleh Masisir itu, tentunnya kita juga tidak akan melupakan sosok pemimpin yang benar-benar seorang pemimpin, Nabi besar kita Muhammad Saw., sosok pemimpin yang diimpikan kedatangannya oleh masyarakat Yatsrib atau Madinah pada saat beliau hijrah dari Mekah. Kedatangan beliau ke Yatsrib untuk menghindari teror kaum kafir disambut oleh masyrakat kota itu dengan lalntunan shalâwât badr. Mereka sangat rindu sekali dengan kedatangan beliau dan mereka ingin mendengar tutur kata beliau. Orang-orang Arab, baik yang Islam maupun penyembah berhala serta orang-orang Yahudi, tumpah ruah untuk melihat sosok Muhammad yang banyak diperbincangkan pada kurun waktu itu.
Masyarakat berebut menawarkan rumahnya sebagai tempat tinggal Rasul, tapi Muhammad menyebut bahwa ia akan tinggal di mana untanya berhenti sendiri dan beliau tidak menerima tawaran-tawaran yang ada. Sampai ke sebuah tempat penjemuran korma, unta itu berlutut dan Muhammad menanyakan perihal pemilik tempat itu. Ma'adh bin Afra memberi tahu bahwa rumah itu milik Sahal dan Suhail, dua orang yatim dari Banu Najjar. Setelah dibeli, rumah itu pun dibangun menjadi masjid sekaligus tempat orang-orang miskin dari berbagai tempat datang menemui Muhammad untuk memeluk Islam kemudian ditampung oleh beliau. Muhammad membangun rumah kecil yang sederhana bagi keluarganya di sisi masjid itu. Semasa pembangunan rumah itu, Rasul tinggal di rumah keluarga Abu Ayyub Khalid bin Zaid. Sekarang masjid yang dibangun Rasulullah itu menjadi masjid Nabawi yang teduh di Madinah.Begitulah Rasul disambut oleh masyarakat Yatsrib pada sat itu. Tokoh yang dinanti-nanti dan dirindukan kedatangannya ini tidak mengecewakan bahkan pada saat awal kedatangannya pun sudah mencerminkan sosok pemimpin yang adil dan bijaksana. Bahkan Rasul dalam kesehariaannya pun selalu mendahulukan kepentingan rakyat dari pada dirinya. Pada perang Khandaq misalnya, beliau mendahulukan untuk membagi makanan yang ada yaitu seekor kambing untuk ribuan prajuritnya dan beliau mengesampingkan diri sendiri sebagai seorang pemimpin.Sosok pemimpin seperti inilah yang diimpikan oleh masyarakat, ideologi, dan di sudut dunia manapun. Pemimpin yang mengerti situasi dan kondisi rakyat, pemimpin yang selalu menomerduakan dirinya untuk kepentingan khalayak umum, pemimpin yang selalu ada di barisan terdepan dalam meyelesaikan masalah, pemimpin yang selalu ada di hati rakyat dan selamanya dikenang oleh rakyat sebagai pemimpin mereka, walaupun dia sudah tiada namun dia selalu dianggap ada di depan mereka.Bila kita bercermin dari kisah di atas, bisa kita ambil sebuah kesimpulan bahwa pemerintah yang berwenang atas Masisir selama ini haruslah bisa mengambil hikmah dari cerita hidup Nabi itu. Mereka harus pandai-pandai menentukan prioritas yang terbaik yang seharusnya dilakukan untuk kepentingan WNI Mesir. Rencana peniadaan shalat ‘id bersama WNI secara keseluruhan yang hampir terjadi pada tahun ini dan digantikan dengan shalat bersama di KBRI dengan perwakilan segelintir WNI saja sempat membuat hati Masisir menjadi geram. Apalagi alasannya terlalu simpel yaitu dana yang ada akan dialokasikan untuk penyambutan duta besar. Padahal, Masisir sebagai rakyat mempunyai hak besar dalam perayaan Idul Fitri tersebut.
Begitu juga mereka yang berwenang atas Masisir mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk merealisasikan momen tersebut bersama-sama dengan WNI umumnya dan Masisir pada khususnya. Apalagi suasana keindonesian yang timbul dari perayaan hari raya bersama Masisir secara keseluruhan tersebut mampu mengobati rasa rindu mereka terhadap Tanah Air. Bahkan dengan momen ini pula Masisir dapat mempererat tali silaturahmi dan memeperbaiki perselisihan-perselisihan yang ada serta nasionalisme sebagai Indonesia yang satu bisa terbangun kembali. Hal ini karena apa? Masisir yang berasal dari berbagai ras dan golongan berkumpul pada momen ini, bahkan Masisir pun akan merasa disamaratakan pelayanannya tanpa ada rasa cemburu.
Ini akan lain jika pihak yang berwenang mengambil tindakan yang salah, Masisir sebagai mayoritas WNI di negeri ini akan merasa dikucilkan dan dianaktirikan. Untung saja tindakan pihak yang berwenang pada hal ini cukup benar akan tetapi kuranglah pantas jika segala sesuatu yang semestinya dialokasikan untuk kemaslahatan Masisir di hari yang Fitri dipangkas dan dialokasikan untuk kepentingan seorang duta besar dan mengesampingkan kepentingan Masisir.
Fakta yang ada, Mayoritas Masisir selama ini kurang mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang memuaskan dari pihak yang berwenang tersebut. Banyak sekali ketimpangan-ketimpangan yang dirasakan dan belum terselesaikan. Keamanan misalnya, selama Masisir terhantui oleh kerawanan tindak kriminal negeri ini baik itu dari luar Masisir ataupun dalam tubuh Masisir sendiri. Masisir secara majemuk juga mengklaim pihak yang berwenang tersebut, yang selama ini seakan-akan membutakan diri dengan persoalan-persoalan itu. Ini dikarenakan mereka yang duduk di atas kursi kepemimpinan kurang mampu bersosiaslisasi dengan Masisir sebagai rakyat mayoritas yang semestinya mendapatkan haknya.
Dengan alasan besarnya dana yang dibutuhkan untuk menyambut seorang pejabat, sebuah daerah di Indonesia merasa keberatan dan menolak untuk diadakan kujungan presiden ke daerah tersebut. Dikarenakan keadaan perekonomian di daerah tersebut mengkhawatirkan maka mereka berkata, “daripada dana yang ada dialokasikan untuk sekedar menyambut seorang presiden, lebih baik dialokasikan untuk kepentingan lain yang tentunya lebih bermanfaat”. Sebagai renungan sekaligus pertimbangan bagi kita WNI keseluruhan dan mereka yang duduk di bangku terhormat, baik itu dalam ruang lingkup pelajar dan WNI di negeri Kinanah ini adalah bukankah kita WNI yang mempunyai pemerintah sendiri di Mesir ini juga mengalami hal serupa dengan daerah tersebut.
Sebagai catatan akhir bahwasanya Masisir sangat mengimpikan pemimpin yang dapat menutupi ketimpangan dan kekurangan yang ada. Datangnya seorang pemimpin baru bukannya sebagai beban baru bagi rakyat akan tetapi sebagai pemimpin yang melayani dan mensejahterakan rakyat, seperti yang dilakukan Rasulullah. Okelah kita sambut pemimpin baru kita tersebut dengan sambutan yang istimewa akan tetapi kita juga harus melihat prioritas berikutnya. Apakah dengan penyambutan mewah itu dampak positif yang dicanangkan mengena ke Masisir sebagai rakyat? Dan bukankah lebih baik jika semua itu dialokasikan untuk kepentingan rakyat? Dan tolonglah kepada pemimpin yang baru untuk mengerti dan memahani rakyat serta selalu berdiri di barisan terdepan untuk bersama-sama melangkah bersama menuju kesejahteraan rakyat dan jadikan rakyat sebagi prioritas utama seperti yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah Saw.
Membincang tentang sosok yang dinantikan oleh Masisir itu, tentunnya kita juga tidak akan melupakan sosok pemimpin yang benar-benar seorang pemimpin, Nabi besar kita Muhammad Saw., sosok pemimpin yang diimpikan kedatangannya oleh masyarakat Yatsrib atau Madinah pada saat beliau hijrah dari Mekah. Kedatangan beliau ke Yatsrib untuk menghindari teror kaum kafir disambut oleh masyrakat kota itu dengan lalntunan shalâwât badr. Mereka sangat rindu sekali dengan kedatangan beliau dan mereka ingin mendengar tutur kata beliau. Orang-orang Arab, baik yang Islam maupun penyembah berhala serta orang-orang Yahudi, tumpah ruah untuk melihat sosok Muhammad yang banyak diperbincangkan pada kurun waktu itu.
Masyarakat berebut menawarkan rumahnya sebagai tempat tinggal Rasul, tapi Muhammad menyebut bahwa ia akan tinggal di mana untanya berhenti sendiri dan beliau tidak menerima tawaran-tawaran yang ada. Sampai ke sebuah tempat penjemuran korma, unta itu berlutut dan Muhammad menanyakan perihal pemilik tempat itu. Ma'adh bin Afra memberi tahu bahwa rumah itu milik Sahal dan Suhail, dua orang yatim dari Banu Najjar. Setelah dibeli, rumah itu pun dibangun menjadi masjid sekaligus tempat orang-orang miskin dari berbagai tempat datang menemui Muhammad untuk memeluk Islam kemudian ditampung oleh beliau. Muhammad membangun rumah kecil yang sederhana bagi keluarganya di sisi masjid itu. Semasa pembangunan rumah itu, Rasul tinggal di rumah keluarga Abu Ayyub Khalid bin Zaid. Sekarang masjid yang dibangun Rasulullah itu menjadi masjid Nabawi yang teduh di Madinah.Begitulah Rasul disambut oleh masyarakat Yatsrib pada sat itu. Tokoh yang dinanti-nanti dan dirindukan kedatangannya ini tidak mengecewakan bahkan pada saat awal kedatangannya pun sudah mencerminkan sosok pemimpin yang adil dan bijaksana. Bahkan Rasul dalam kesehariaannya pun selalu mendahulukan kepentingan rakyat dari pada dirinya. Pada perang Khandaq misalnya, beliau mendahulukan untuk membagi makanan yang ada yaitu seekor kambing untuk ribuan prajuritnya dan beliau mengesampingkan diri sendiri sebagai seorang pemimpin.Sosok pemimpin seperti inilah yang diimpikan oleh masyarakat, ideologi, dan di sudut dunia manapun. Pemimpin yang mengerti situasi dan kondisi rakyat, pemimpin yang selalu menomerduakan dirinya untuk kepentingan khalayak umum, pemimpin yang selalu ada di barisan terdepan dalam meyelesaikan masalah, pemimpin yang selalu ada di hati rakyat dan selamanya dikenang oleh rakyat sebagai pemimpin mereka, walaupun dia sudah tiada namun dia selalu dianggap ada di depan mereka.Bila kita bercermin dari kisah di atas, bisa kita ambil sebuah kesimpulan bahwa pemerintah yang berwenang atas Masisir selama ini haruslah bisa mengambil hikmah dari cerita hidup Nabi itu. Mereka harus pandai-pandai menentukan prioritas yang terbaik yang seharusnya dilakukan untuk kepentingan WNI Mesir. Rencana peniadaan shalat ‘id bersama WNI secara keseluruhan yang hampir terjadi pada tahun ini dan digantikan dengan shalat bersama di KBRI dengan perwakilan segelintir WNI saja sempat membuat hati Masisir menjadi geram. Apalagi alasannya terlalu simpel yaitu dana yang ada akan dialokasikan untuk penyambutan duta besar. Padahal, Masisir sebagai rakyat mempunyai hak besar dalam perayaan Idul Fitri tersebut.
Begitu juga mereka yang berwenang atas Masisir mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk merealisasikan momen tersebut bersama-sama dengan WNI umumnya dan Masisir pada khususnya. Apalagi suasana keindonesian yang timbul dari perayaan hari raya bersama Masisir secara keseluruhan tersebut mampu mengobati rasa rindu mereka terhadap Tanah Air. Bahkan dengan momen ini pula Masisir dapat mempererat tali silaturahmi dan memeperbaiki perselisihan-perselisihan yang ada serta nasionalisme sebagai Indonesia yang satu bisa terbangun kembali. Hal ini karena apa? Masisir yang berasal dari berbagai ras dan golongan berkumpul pada momen ini, bahkan Masisir pun akan merasa disamaratakan pelayanannya tanpa ada rasa cemburu.
Ini akan lain jika pihak yang berwenang mengambil tindakan yang salah, Masisir sebagai mayoritas WNI di negeri ini akan merasa dikucilkan dan dianaktirikan. Untung saja tindakan pihak yang berwenang pada hal ini cukup benar akan tetapi kuranglah pantas jika segala sesuatu yang semestinya dialokasikan untuk kemaslahatan Masisir di hari yang Fitri dipangkas dan dialokasikan untuk kepentingan seorang duta besar dan mengesampingkan kepentingan Masisir.
Fakta yang ada, Mayoritas Masisir selama ini kurang mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang memuaskan dari pihak yang berwenang tersebut. Banyak sekali ketimpangan-ketimpangan yang dirasakan dan belum terselesaikan. Keamanan misalnya, selama Masisir terhantui oleh kerawanan tindak kriminal negeri ini baik itu dari luar Masisir ataupun dalam tubuh Masisir sendiri. Masisir secara majemuk juga mengklaim pihak yang berwenang tersebut, yang selama ini seakan-akan membutakan diri dengan persoalan-persoalan itu. Ini dikarenakan mereka yang duduk di atas kursi kepemimpinan kurang mampu bersosiaslisasi dengan Masisir sebagai rakyat mayoritas yang semestinya mendapatkan haknya.
Dengan alasan besarnya dana yang dibutuhkan untuk menyambut seorang pejabat, sebuah daerah di Indonesia merasa keberatan dan menolak untuk diadakan kujungan presiden ke daerah tersebut. Dikarenakan keadaan perekonomian di daerah tersebut mengkhawatirkan maka mereka berkata, “daripada dana yang ada dialokasikan untuk sekedar menyambut seorang presiden, lebih baik dialokasikan untuk kepentingan lain yang tentunya lebih bermanfaat”. Sebagai renungan sekaligus pertimbangan bagi kita WNI keseluruhan dan mereka yang duduk di bangku terhormat, baik itu dalam ruang lingkup pelajar dan WNI di negeri Kinanah ini adalah bukankah kita WNI yang mempunyai pemerintah sendiri di Mesir ini juga mengalami hal serupa dengan daerah tersebut.
Sebagai catatan akhir bahwasanya Masisir sangat mengimpikan pemimpin yang dapat menutupi ketimpangan dan kekurangan yang ada. Datangnya seorang pemimpin baru bukannya sebagai beban baru bagi rakyat akan tetapi sebagai pemimpin yang melayani dan mensejahterakan rakyat, seperti yang dilakukan Rasulullah. Okelah kita sambut pemimpin baru kita tersebut dengan sambutan yang istimewa akan tetapi kita juga harus melihat prioritas berikutnya. Apakah dengan penyambutan mewah itu dampak positif yang dicanangkan mengena ke Masisir sebagai rakyat? Dan bukankah lebih baik jika semua itu dialokasikan untuk kepentingan rakyat? Dan tolonglah kepada pemimpin yang baru untuk mengerti dan memahani rakyat serta selalu berdiri di barisan terdepan untuk bersama-sama melangkah bersama menuju kesejahteraan rakyat dan jadikan rakyat sebagi prioritas utama seperti yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah Saw.
0 comments:
Post a Comment